Hidup adalah Berbagi
Kisah untuk Berbagi Arti
Hidup sejatinya seperti tempat
persinggahan sebelum kembali berjalan ke tujuan.
Kondisi di tempat singgah ini
sungguh penuh sesak dengan tantangan, peluang, masalah maupun hambatan.
Tempat singgah ini bagaikan
potongan surga dan neraka. Dimana keindahan alam seperti bongkahan nirwana dari
langit ini juga bertemu dengan masalah yang bagai batu neraka bisa membuat
lidah ini kelu tak dapat melanjutkan cerita.
Di tempat singgah ini, kami adalah
makhluk yang diberikan amanah untuk menjadi pemimpin, yang harus berbagi tempat
dengan makhluk lainnya. Dengan berjalannya waktu, jumlah pemimpin di tempat
singgah ini semakin bertambah. Pemimpin disini beragam, dari mulai kulit putih,
kuning, coklat gelap sampai dari yang bedebah hingga yang berhati mulia. Saya yang
menuturkan memoar kisah kami ini adalah bagian dari makhluk yang diberikan
tanggung jawab mengelola tempat singgah itu, saat ini.
Sampai pada satu saat, di peradaban
kami, kami menyadari..
Kehidupan di tempat ini seperti
puzzle yang setiap individu memiliki bingkai gambar berbeda. Puzzlenya tidak
lengkap, hingga banyak diantara kami yang bingung dengan makna setiap
potongnya.
Layaknya bermain dalam sebuah film,
kami disini menjelma bagai aktor yang sedang mementaskan lakon hidup diatas
panggung tempat singgah ini.
Sebagai aktor kami memiliki peran
sendiri-sendiri, namun akhir-akhir ini kami menyadari bahwa film tidak akan
pernah bisa diperankan oleh satu aktor. Kami tidak mengetahui skenario apa yang
sedang dijalankan Sang Sutradara. Bahkan untuk sekedar plot dan alur cerita.
Semuanya begitu mengejutkan, just in time,
dan terjadilah adegan-adegan yang mementaskan kisahnya. Kami menyadari dalam
skenario film ini terdapat banyak aktor, hingga pemain figuran yang melintas
tanpa membekas arti. Beberapa dari kami selalu berusaha untuk menjadi aktor
utama, dalam peran apapun, hingga kebanyakan mereka terkesan antagonis. Maaf
maksud kami beringas dan haus kuasa atas sesama pemain lakon ini.
Kami bagai tokoh dalam cerita yang
juga sedang berbagi cerita untuk mendapatkan makna. Frame in the frame. Kami diberi akal, daya imajinasi dan kemampuan survival dalam mementaskan drama hidup
ini. Dengan bekal itu, kami juga menerka-nerka apa yang sedang diperankan kami,
siapa yang menonton aksi kami dalam bingkai ini?
Sungguh, jangankan naskah film yang
sudah dituliskan itu kami ketahui, setting lokasi dan adegan pun kami lakukan
atas kehendak Sang Sutradara. Kami benar-benar tak punya daya untuk berperan
menyerupaiNya, bahkan sekedar mengintip seperi apa dialog kami 2 menit kedepan.
Lantas apa yang menjaga kami untuk
tetap berperan di tempat singgah ini?
Sang Sutradara juga melengkapi
kisah dibalik layar, behind the scene,
ini dengan petunjuk. Petunjuk yang sempat direvisi 3 kali sebelum akhirnya yang
keempat ini menjadi pedoman peran tercanggih untuk kami di lakon hidup ini.
Dalam petunjuk yang diberikan, kata perintah pertama di bagian pembuka saat
ditulis oleh Sang Sutradara yaitu: Baca.
Ya, kami diminta untuk membaca agar
dapat menyelami esensi peran ini. Membaca untuk membuka kesadaran akan terbatasnya
pola tingkah kami. Membaca untuk mengerti bahwa kami disini berperan bersama-sama,
untuk bersiap berangkat ke tujuan, yang lagi-lagi hanya Sang Sutradara yang mengetahui
alurnya.
Kami membaca untuk memaknai.
Sebagian dari kami akhirnya menyadari hal itu. Namun bagian besar lainnya
nampak terlalu menikmati peran yang bisa dipilih-pilih ini. Larut dalam euforia
peran yang menyenangkan, dan tenggelam menikmati lautan emosi dan depresi
karena hasrat peran tak terpuaskan.
Hidup di tempat singgah ini sangatlah
dalam tingkatannya, sedalam kami mencari-cari makna potongan puzzle ini.
Berlapis. Berlapis-lapis seperti lokasi tempat singgah yang jika kami mendongak
keatas, rasanya disana ada film utopia lain saking terlalu dan sangat teramat
luasnya. Dengan bekal spesial dan petunjuk yang kami miliki, kami bersama
membangun peran lain untuk menerangi kegelapan ini.
Kami menjelma menjadi lilin di
sudut panggung ini, lilin yang mencari sumber cahaya untuk perlahan menangkapnya demi menerangi gelapnya
sudut pandang kami. Sering kali dalam gelap ini, kami saling bertarung, saling
tikam, saling menghilangkan. Ya, itulah namanya ego. Kami memiliki ego diri.
Ego hadir dari ketakutan dan nafsu kami. Perintah untuk menjadi pemimpin yang
terbaik, dalam gelap ini, kami artikan sebagai adegan untuk unggul dan berkuasa
atas segala hal pada panggung ini. Lalu apa yang bisa kami perbuat untuk
menerangi alur ini?
Maka kami mulai dengan merintis
suatu proses pemahaman, dan pendalaman makna dari pentas singgah sementara ini.
Yaitu dengan pendidikan.
Didik adalah kata dasar peran ini.
Didikan adalah pemeran utama disini. Tidak, bukannya kami ingin menyaingi Sang
Sutradara dengan mencoba membuat film sendiri. Tidak ada sutradara dalam peran
ini. Semuanya adalah aktor, didikan, pemeran utama.
Kami mulai pendidikan ini dengan
mengakumulasikan bersama cahaya yang dipunya. Secercah cahaya yang dimiliki
diantara kami adalah harapan kami untuk melihat segalanya dengan terang. Kami
mulai meniti dan menyelami luasnya samudra makna ini. Kami sebut dengan ilmu
pengetahuan. Ilmu untuk memaknai makna,dan pengetahuan untuk membuka jalan kami
menuju tujuan.
Satu generasi perintis kami sudah
tuntas memulai dan mengakhiri proses pendidikan ini segala harap dan usahanya
untuk menerangi jalan. Masanya sudah habis. Peran yang mereka mainkan memang
memiliki batas, layaknya durasi film yang sudah tercatat pasti lama waktunya. Pada
bagian epilog scene peran mereka,
dengan sedikit cahaya itu mereka jadikan pijakan, milestone, langkah awal
kemajuan peradaban kami dimulai. Begitulah alur tersebut berputar hingga kami
terima estafet ini di masa kami. Sejauh ini, langkah pada alur proses pemaknaan
yang sudah ribuan tahun berjalan ini mampu menghasilkan peradaban baru.
Peradaban yang lebih maju. Maju untuk kami. Saya sendiri tidak menjamin bahwa
makhluk lain juga mengalami kemajuan bersama dengan pola kepemimpinan kami.
Saat ini, saya yang mewakili kami,
menulis pada alat bantu yang dalam sepersekian detik bisa menafsirkan apa yang
saya lakukan pada tuts panelnya. Sangat responsif. Begitulah peran di peradaban
kami. Berkembang pesat, cepat dan masif. Kami membayangkan jika setiap
peradaban dari kita harus memulai menemukan cahaya dari awal. Berilmu dari
pendidikan rintisan. Maka tidak akan pernah bisa kami sampaikan kisah dalam
kisah ini kepada kalian.
Betapa gelapnya hidup kami tanpa
saling memberi pijakan, memberi cahaya, dan ilmu pengetahuan yang sudah
dilakukan dalam proses yang disebut pendidikan itu. Bagai mata rantai yang
saling terpaut, panjang dan masa depannya ditentukan dari apa yang diberikan
mata rantai terakhir untuk mata rantai yang baru. Mirip seperti menenun benang,
dimana tujuan peran kita adalah menjadi kain. Perlu merajut terus-menerus. Sustainable. Inilah konsep pendidikan
yang telah, sedang dan akan kami jalani.
Kami juga tidak lupa dengan peran
kami masing-masing dalam lakon ini. Pada suatu masa, leluhur kami juga
menemukan ujung kemampuan kami, yang kami sebut keterbatasan. Dari segala
hipotesa yang diuji, kami mengamini bersama bahwa peran kami ini adalah jalan
hidup. Ways of life. Dimana kami
menjalaninya dengan penuh juang, peluh, darah serta airmata. Kami tidak pernah
mencapai hidup yang 1, hidup yang sempurna. Hidup kami bagaikan formulasi limit
mendekati x, dimana nilai kesempurnaan didalam x tersebut mustahil dicapai. Ya,
itulah batas kemampuan kami. Itu juga yang menjadikan kami terus menerus
bersama, tidak bisa berlakon sendiri, dan meniti kisah ini demi menemukan
potongan puzzle masing-masing.
Sampailah kami untuk mendekap
kesimpulan bahwa hidup haruslah saling berbagi. Kami tidak pernah tau
keseluruhan makna hidup dalam peran ini jika tidak pernah memberi, tidak pernah
menerima dan tidak melangkahkan peran ini dalam pentas diantara kita. Layaknya
berbagi peran dalam satu momen skenario, kami yang tidak sempurna ini,
menyempurnakan langkah kami dengan memberikan ruang bagi sesama. Ruang ini kami
berikan untuk saling mengisi dalam keterbatasan, saling memberi arti hingga
dicapai kata mengerti.
Kisah ini menuturkan makna berbagi,
karena Sang Sutradara memberikan panggung hidup dan semuanya ini bukan tanpa
arti. Jika kalian temukan arti lagi, berbagilah. Berbagilah karena itu
satu-satunya yang membuat mereka, kami dan kalian menemukan potongan makna dari
puzzle kita. Menemukan esensi untuk apa kita berada di tempat singgah ini.
Teruslah temukan arti dibalik peran
ini. Temukannya lalu berbagi ke sesama. Hanya dengan itu. Hanya dengan cahaya
arti yang dibagi itulah kita menuju pada kecermelangan peradaban. Meniti titian
ikat rantai kehidupan dalam panggung peran.
Karena Sang Sutradara ingin kita
menyadari. Bahwa hidup di tempat singgah ini sungguh untuk mengambil arti-arti.
Arti kehidupan yang tersebar disetiap senti peran yang kita lakoni. Apa yang
kami lakukan hari ini, tidak lain menginginkan peran ini menjadi lebih
bermakna. Peran yang lebih memiliki suara. Suara hati nurani yang ingin film
kita terus bertransformasi. Pada akhirnya tujuan kita sama. Menutup film
kehidupan ini dengan happy ending
hingga Sang Sutradara pun tersenyum indah diatas singgasana langitNya
Karena tempat singgah ini bukan
untuk beristirahat.
Apa yang kita tanam kini, adalah
penentu keberlangsungan jalan didepannya.
Tempat ini untuk mempersiapkan
bekal esok hari.
Esok yang tak pernah kita tau peran
dan adegan apa yang akan terjadi.
Pilihan memang ditangan
masing-masing.
Untuk berperan sebagai aktor, atau
layaknya figuran yang melintas tanpa membekas makna.
Kisah ini saya bagikan untuk kalian
yang mencari arti. Mencari makna dibalik makna.
Ditulis di Tempat Singgah Kita,
Disuatu masa yang ditetapkan untuk disepakati bersama, 14 Mei 2014.
Download pdf disini
Komentar
Posting Komentar