Merajut Pola
Beberapa tahun lalu seorang bertanya kepada saya, apa gunanya kamu membaca koran padahal kamu hanyalah anak SMP yang hanya perlu senang-senang.
"Jika ditarik 4 tahun kebelakang dari saat itu, saya juga ditanya oleh beberapa orang dewasa, kok anak SD meminta dibelikan Buku Pintar setebal 600halaman yang biasa dibaca calon pegawai negeri sipil sebelum ujian. Bahkan rela dipotong uang jajan yang saat itu bagi saya sangat berharga untuk bisa membeli mobil remote control yang saya idamkan. Saya sudah habisi RPUL-RPAL saat itu, menenggak detik demi detik berita tentang negara. Untuk ukuran anak umur 10 tahun saya memang agak nyeleneh sedikit mungkin dibatin orang. Terserah. Saya belajar memahami medan, saya mendapatkan "peta hidup" yang tak banyak orang memilikinya. Saat itu saya, entah masuk akal untuk kalian atau tidak, saya menyatakan bahwa saya tidak ingin bodoh dan dibodohi."
Saat itu hari-hari saya dipenuhi jiwa remaja yang merasuk seiring bertambahnya usia. Terlibat perselisihan kecil mungkin sudah biasa bagiveteran seperti saya. Namun ada satu hal yang saya tidak pernah membiarkan keseriusan saya diganggu siapapun, itu adalah saat-saat upacara bendera. Bagi saya ini patut diseriusi, dulu mana bisa kita sekedar berkumpul bersama mengibarkan bendera merah-putih tanpa ada darah yang tertumpah. Sungguh terima kasih saya sematkan pada para pahlawan, semoga pengorbananmu menjadi jalan terbaik menujuNya.
Menginjak SMA saya mulai merasakan suatu perbedaan yang sama sekali tidak dapat dideskripsikan, hingga saat ini, meski saya sudah mulai menganalisa lebih berat lagi, namun untuk urusan satu itu saya tak sanggup mengolahnya. Terlalu dekat dengan kita hingga saya merasakan logikanya masuk, meski nalar saya sangat mahfum ada ketidakberesan dengan hal tersebut. Bagaimana tidak, upacara hampir tak pernah senyap, saya tak membahas nada marching band, yang saya bahas adalah nada suara manusia sekitar 30-45Db yang jika dikeluarkan bersama dan diterima gendang telinga kita hingga menyadari bahwa itulah definisi kebisingan manusia. Soal langgar aturan, ah sudah biasa. Saat itulah saya sebut masa muda paling bahagia, betapa tidak meski saya tetap menjaga diri dalam "track" dan relatif tetap idealis dengan menolak terkontaminasi dengan pemikiran yang saya anggap beda (masa SMA ini mulai terlihat bibit bibit idealis, para critical thinker yang saya senangi untuk berdiskusi hingga berdebat untuk pertahankan point of view opini. Di titik inilah saya memahami bahwa dalam memandang sesuatu hendaknya kita menggunakan banyak kacamata, banyak sudut pandang agar tak seperti kuda yang gampang diarahkan orang).
Hari-hari tanpa beban karena minim sekali tuntutan saat itu, hanya belajar dari ibu bapak guru, serap saat itu lalu mari kita menikmati masa ini begitu melangkahkan kaki keluar pintu kelas saat bel berbunyi.
Disisi lain saya saat itu makin menjadi, menjadi keren maksudnya. Masih kamu ragukan? yah mungkin kamu butuh kacamata lain untuk memandang saya :)
Saya relakan uang jajan yang diberikan orangtua disetiap minggunya untuk dipotong demi berlangganan koran kompas yang saya punya cara unik untuk membacanya.
Sejujurnya ada perasaan lain di kepala ini. Suatu perasaan cinta yang mendalam meski benci seringkali terasa dengan kacaunya pola negeri ini.
(-----sedang ditulis artikel ini, harap tunggu seperti kamu menunggu gebetanmu-----)
"Jika ditarik 4 tahun kebelakang dari saat itu, saya juga ditanya oleh beberapa orang dewasa, kok anak SD meminta dibelikan Buku Pintar setebal 600halaman yang biasa dibaca calon pegawai negeri sipil sebelum ujian. Bahkan rela dipotong uang jajan yang saat itu bagi saya sangat berharga untuk bisa membeli mobil remote control yang saya idamkan. Saya sudah habisi RPUL-RPAL saat itu, menenggak detik demi detik berita tentang negara. Untuk ukuran anak umur 10 tahun saya memang agak nyeleneh sedikit mungkin dibatin orang. Terserah. Saya belajar memahami medan, saya mendapatkan "peta hidup" yang tak banyak orang memilikinya. Saat itu saya, entah masuk akal untuk kalian atau tidak, saya menyatakan bahwa saya tidak ingin bodoh dan dibodohi."
Saat itu hari-hari saya dipenuhi jiwa remaja yang merasuk seiring bertambahnya usia. Terlibat perselisihan kecil mungkin sudah biasa bagi
Menginjak SMA saya mulai merasakan suatu perbedaan yang sama sekali tidak dapat dideskripsikan, hingga saat ini, meski saya sudah mulai menganalisa lebih berat lagi, namun untuk urusan satu itu saya tak sanggup mengolahnya. Terlalu dekat dengan kita hingga saya merasakan logikanya masuk, meski nalar saya sangat mahfum ada ketidakberesan dengan hal tersebut. Bagaimana tidak, upacara hampir tak pernah senyap, saya tak membahas nada marching band, yang saya bahas adalah nada suara manusia sekitar 30-45Db yang jika dikeluarkan bersama dan diterima gendang telinga kita hingga menyadari bahwa itulah definisi kebisingan manusia. Soal langgar aturan, ah sudah biasa. Saat itulah saya sebut masa muda paling bahagia, betapa tidak meski saya tetap menjaga diri dalam "track" dan relatif tetap idealis dengan menolak terkontaminasi dengan pemikiran yang saya anggap beda (masa SMA ini mulai terlihat bibit bibit idealis, para critical thinker yang saya senangi untuk berdiskusi hingga berdebat untuk pertahankan point of view opini. Di titik inilah saya memahami bahwa dalam memandang sesuatu hendaknya kita menggunakan banyak kacamata, banyak sudut pandang agar tak seperti kuda yang gampang diarahkan orang).
Hari-hari tanpa beban karena minim sekali tuntutan saat itu, hanya belajar dari ibu bapak guru, serap saat itu lalu mari kita menikmati masa ini begitu melangkahkan kaki keluar pintu kelas saat bel berbunyi.
Disisi lain saya saat itu makin menjadi, menjadi keren maksudnya. Masih kamu ragukan? yah mungkin kamu butuh kacamata lain untuk memandang saya :)
Saya relakan uang jajan yang diberikan orangtua disetiap minggunya untuk dipotong demi berlangganan koran kompas yang saya punya cara unik untuk membacanya.
Sejujurnya ada perasaan lain di kepala ini. Suatu perasaan cinta yang mendalam meski benci seringkali terasa dengan kacaunya pola negeri ini.
(-----sedang ditulis artikel ini, harap tunggu seperti kamu menunggu gebetanmu-----)
Komentar
Posting Komentar