Terus Mau Kemana?
Hai langit,
Lama tak bersua, rindu sekali dengan jingga senjamu. Benar-benar rindu.
Kali ini gue kembali dengan cerita, biasa.. menuju quarter life crisis kalo kata orang. hehe.
Sekarang gue udah memasuki masa-masa dimana timeline dipenuhi foto lamaran-nikahan dan undangan mulai berdatangan. Fuh ternyata udah masuk 'usia-usia pernikahan', cuy waktu cepet banget geraknya hehe.
Tibalah masa seperti ini, etapi belom sih yang sampe merasa urgent banget karena sekeliling pada nikah, ditambah emang komitmen gue untuk nikah diatas usia 25 dan dibawah 29. Semoga saja bisa tepat dalam range tersebut. Ya iya masih dalam bentuk semoga. Haha
Kerasa gak sih buat kalian yang usia 22-24 ini, kaya masa transisi banget sih. Dari mulai tanggung jawab yang sudah makin besar, sudah mulai 'mau' membangun entitas (rumah tangga) sendiri, sudah mulai cuman bersosialisasi dengan small circle-nya, juga sudah mulai paham kenapa hidup itu bukan kompetisi.
Ehehe, penting nih paham poin terakhir diatas, gue mau highlight itu sih.
Misal nih kita di usia sekolah dulu, goals kita paling ya naik kelas dan dapet ranking, timeframe nya jelas gitu. Per tahun naik kelas, kalo sd abis 6 tahun pindah level ke smp, di smp 3 tahun pindah level ke sma, dst. Secara psikologis juga lo bisa kaya auto-pilot gitu atau dalam posisi yaudah itu track nya tinggal jalanin dan do your best.
Pas kuliah ya mulai lebih 'bebas memilih' sih, kaya goals lo lebih variatif disamping nilai IPK dan lulus tepat waktu (ini juga bisa dibilang cuman pakem sosial aja, realitanya terserah kita sih).
Tibalah saat kerja, ini juga variasinya udah mulai melebar, ada berbagai macam faktor. Dulu, gue menganggap kaya kenapa sih ini orang gak mau tinggal diluar kota, ngerantau dikiiit aja kok menolak mentah-mentah, circle network-nya nanti kecil dong. Memang sulit memahami sebuah keputusan orang lain tanpa melihat 360 derajat dan tau alasan dibaliknya.
Kita sih sebagai 'orang luar' cuman bisa ngasih komentar, terkadang kita juga lupa kalo keputusan (dalam hal ini merantau) itu kita ambil hasil dari pertimbangan berbagai faktor sebelumnya. Ada banyak pertimbangan pastinya, mulai dari faktor preferensi pribadi, keluarga (ini banyaak banget misal: ekspektasi keluarga, lokasi keluarga, kemampuan keluarga, amanah keluarga,dll), lingkungan-sosial, image atau gengsi, faktor pasangan, dan termasuk juga faktor ekonomisnya.
Kadang nih gue ngeliat ada ya orang dari lahir, besar, kerja, nikah, tinggal, dan berencana selamanya menghabiskan 90% hidupnya hanya di satu tempat aja. Itu gak salah loh cuy, beneran. Cuman begitu tau alasan dan melihat secara utuh, ternyata mereka memilih itu karena faktor-faktor tadi itu memnag mengharuskan mereka mempertimbangkan hidup menetap seperti itu.
Jujur gue juga ngerasain gimana ekspektasi keluarga berperan besar banget buat seseorang ambil keputusan. Bahkan nih, gue juga mulai paham kenapa ada orang seperti di cerita zaman Rasul dulu tentang seorang anak yang gak kemana-mana seumur hidupnya dan cuman keluar kota itupun untuk memenuhi keinginan ortunya naik haji. Berbakti itu memang tujuan seorang anak sih. Kaya kebahagiaan lo kadang bisa jadi kerasa meaningless (bukan berarti kurang bersyukur yah) kalo seandainya hal itu berlawanan dengan ekspektasi keluarga.
Tentunya sebagai anak kita pengen banget lah liat ortu bangga dan tersenyum atas pencapaian diri kita. But on the other side, kita juga hidup sebagai individual yang gak melulu sama dengan ortu kita. Pertimbangan-pertimbangan itu dalam pekerjaan juga terasa pastinya.
Ada orang yang workaholic, lupa waktu, dan ambisius cari duit, yang mungkin dia lagi kejar pencapaiannya buat nutupin hutang keluarga (who knows?). Ada juga orang yang pulang kerja tenggo, suka izin pulang, itu mungkin mau ngurus keluarganya dirumah yang jadi tanggung jawabnya.
Bener-bener menjadi keunikan sih emang arah keputusan seseorang, kita gak pernah tau orang mengambil keputusan ini itu yang sebenernya mungkin itu terjadi karena ada faktor diatas, bukan cuman willingness dirinya sendiri.
Nah itu kan soal kerja, next soal memilih pasangan hidup dan menikah. Beneran dah ini next level sih soal kompleksitasnya.
Ada banget temen yang memutuskan gak melanjutkan hubungan hanya karena ada satu dua faktor berbeda dari faktor-faktor lainnya. Terlebih menikah itu soal menghubungkan dua keluarga besar, melebur jadi satu rumah tangga dan terikat serta menghabiskan sisa waktunya bersama-sama.
Tentu ini soal yang besar banget, bener-bener besar. Dari mulai yang sedikit lebih mudah dulu deh, soal usia ideal pernikahan yang diinginkan (ingat ya yang diinginkan masing-masing individu). Nah ini pertimbangannya misal yang mau nikah diusia 25 keatas bisa jadi ada keinginan nyekolahin adeknya dulu sampe lulus baru nikah, ada yang mau ngumpulin modal dan beli rumah dulu supaya menikah tak membebani ortu, ada juga yang merasa mau memperbaiki diri dulu supaya matang dan siap lahir batin.
Kalo yang mau nikah dekat-dekat ini juga mungkin ingin supaya hidupnya lebih terarah dan terurus, merasa sudah siap lahir batin, dan juga memenuhi keinginan keluarga yang menanti cucu. Dan masih banyaaak lagi.
Itu baru soal waktu, soal pasangannya wah lebih lebih kompleks lagi. Dari mulai personalitasnya (sikap, sifat, dll), parasnya, latar belakangnya, keluarganya, sukunya, adatnya, kepercayaannya, tujuan hidupnya, dan lain sebagainya.
Kayanya bener-bener gak ada pakem khusus gitu, gak ada timeframe khusus, gak ada cara khusus, dan gak ada apapun yang bisa dijadiin 'standar' dalam hal tersebut.
Gue berkesimpulan, saat manusia beranjak dewasa, baik itu secara fisik dan mentalnya, kita paham sendiri dan tidak lagi berdiri pada standar tertentu melainkan standar yang diciptakan dari internal dan eksternal kita, atau dalam kata lain itu hanya 'semu' aja.
Di usia 23 ini, gue belajar banyak soal sebuah keputusan, boleh jadi apa yang kita lihat mengagetkan itu hanyalah hal biasa bagi seseorang dan vice versa.
Terus pertanyaannya, mau kemanakah kita?
Sudah kau temukan jalanmu, caramu, dan maumu?
Terus mau kemana?
Jika kematian yang menghentikan kita saja tak diketahui datangnya, lantas haruskah kita merasa milestone dalam hidup ini adalah kompetisi? Sedang garis finish itu berbeda beda, sama seperti garis start saat kita dilahirkan.
Poin gue disini selain kontemplasi diri mau kemana, juga ingin sekali lagi menyampaikan bahwa masing-masing individu punya pertimbangannya sendiri, saatnya kita saling menghargai.
Sampai jumpa dilain kesempatan langit. Salam pada Aldebaran yang lama gak gue tatap di malam hari
Lama tak bersua, rindu sekali dengan jingga senjamu. Benar-benar rindu.
Kali ini gue kembali dengan cerita, biasa.. menuju quarter life crisis kalo kata orang. hehe.
Sekarang gue udah memasuki masa-masa dimana timeline dipenuhi foto lamaran-nikahan dan undangan mulai berdatangan. Fuh ternyata udah masuk 'usia-usia pernikahan', cuy waktu cepet banget geraknya hehe.
Tibalah masa seperti ini, etapi belom sih yang sampe merasa urgent banget karena sekeliling pada nikah, ditambah emang komitmen gue untuk nikah diatas usia 25 dan dibawah 29. Semoga saja bisa tepat dalam range tersebut. Ya iya masih dalam bentuk semoga. Haha
Kerasa gak sih buat kalian yang usia 22-24 ini, kaya masa transisi banget sih. Dari mulai tanggung jawab yang sudah makin besar, sudah mulai 'mau' membangun entitas (rumah tangga) sendiri, sudah mulai cuman bersosialisasi dengan small circle-nya, juga sudah mulai paham kenapa hidup itu bukan kompetisi.
Ehehe, penting nih paham poin terakhir diatas, gue mau highlight itu sih.
Misal nih kita di usia sekolah dulu, goals kita paling ya naik kelas dan dapet ranking, timeframe nya jelas gitu. Per tahun naik kelas, kalo sd abis 6 tahun pindah level ke smp, di smp 3 tahun pindah level ke sma, dst. Secara psikologis juga lo bisa kaya auto-pilot gitu atau dalam posisi yaudah itu track nya tinggal jalanin dan do your best.
Pas kuliah ya mulai lebih 'bebas memilih' sih, kaya goals lo lebih variatif disamping nilai IPK dan lulus tepat waktu (ini juga bisa dibilang cuman pakem sosial aja, realitanya terserah kita sih).
Tibalah saat kerja, ini juga variasinya udah mulai melebar, ada berbagai macam faktor. Dulu, gue menganggap kaya kenapa sih ini orang gak mau tinggal diluar kota, ngerantau dikiiit aja kok menolak mentah-mentah, circle network-nya nanti kecil dong. Memang sulit memahami sebuah keputusan orang lain tanpa melihat 360 derajat dan tau alasan dibaliknya.
Kita sih sebagai 'orang luar' cuman bisa ngasih komentar, terkadang kita juga lupa kalo keputusan (dalam hal ini merantau) itu kita ambil hasil dari pertimbangan berbagai faktor sebelumnya. Ada banyak pertimbangan pastinya, mulai dari faktor preferensi pribadi, keluarga (ini banyaak banget misal: ekspektasi keluarga, lokasi keluarga, kemampuan keluarga, amanah keluarga,dll), lingkungan-sosial, image atau gengsi, faktor pasangan, dan termasuk juga faktor ekonomisnya.
Kadang nih gue ngeliat ada ya orang dari lahir, besar, kerja, nikah, tinggal, dan berencana selamanya menghabiskan 90% hidupnya hanya di satu tempat aja. Itu gak salah loh cuy, beneran. Cuman begitu tau alasan dan melihat secara utuh, ternyata mereka memilih itu karena faktor-faktor tadi itu memnag mengharuskan mereka mempertimbangkan hidup menetap seperti itu.
Jujur gue juga ngerasain gimana ekspektasi keluarga berperan besar banget buat seseorang ambil keputusan. Bahkan nih, gue juga mulai paham kenapa ada orang seperti di cerita zaman Rasul dulu tentang seorang anak yang gak kemana-mana seumur hidupnya dan cuman keluar kota itupun untuk memenuhi keinginan ortunya naik haji. Berbakti itu memang tujuan seorang anak sih. Kaya kebahagiaan lo kadang bisa jadi kerasa meaningless (bukan berarti kurang bersyukur yah) kalo seandainya hal itu berlawanan dengan ekspektasi keluarga.
Tentunya sebagai anak kita pengen banget lah liat ortu bangga dan tersenyum atas pencapaian diri kita. But on the other side, kita juga hidup sebagai individual yang gak melulu sama dengan ortu kita. Pertimbangan-pertimbangan itu dalam pekerjaan juga terasa pastinya.
Ada orang yang workaholic, lupa waktu, dan ambisius cari duit, yang mungkin dia lagi kejar pencapaiannya buat nutupin hutang keluarga (who knows?). Ada juga orang yang pulang kerja tenggo, suka izin pulang, itu mungkin mau ngurus keluarganya dirumah yang jadi tanggung jawabnya.
Bener-bener menjadi keunikan sih emang arah keputusan seseorang, kita gak pernah tau orang mengambil keputusan ini itu yang sebenernya mungkin itu terjadi karena ada faktor diatas, bukan cuman willingness dirinya sendiri.
Nah itu kan soal kerja, next soal memilih pasangan hidup dan menikah. Beneran dah ini next level sih soal kompleksitasnya.
Ada banget temen yang memutuskan gak melanjutkan hubungan hanya karena ada satu dua faktor berbeda dari faktor-faktor lainnya. Terlebih menikah itu soal menghubungkan dua keluarga besar, melebur jadi satu rumah tangga dan terikat serta menghabiskan sisa waktunya bersama-sama.
Tentu ini soal yang besar banget, bener-bener besar. Dari mulai yang sedikit lebih mudah dulu deh, soal usia ideal pernikahan yang diinginkan (ingat ya yang diinginkan masing-masing individu). Nah ini pertimbangannya misal yang mau nikah diusia 25 keatas bisa jadi ada keinginan nyekolahin adeknya dulu sampe lulus baru nikah, ada yang mau ngumpulin modal dan beli rumah dulu supaya menikah tak membebani ortu, ada juga yang merasa mau memperbaiki diri dulu supaya matang dan siap lahir batin.
Kalo yang mau nikah dekat-dekat ini juga mungkin ingin supaya hidupnya lebih terarah dan terurus, merasa sudah siap lahir batin, dan juga memenuhi keinginan keluarga yang menanti cucu. Dan masih banyaaak lagi.
Itu baru soal waktu, soal pasangannya wah lebih lebih kompleks lagi. Dari mulai personalitasnya (sikap, sifat, dll), parasnya, latar belakangnya, keluarganya, sukunya, adatnya, kepercayaannya, tujuan hidupnya, dan lain sebagainya.
Kayanya bener-bener gak ada pakem khusus gitu, gak ada timeframe khusus, gak ada cara khusus, dan gak ada apapun yang bisa dijadiin 'standar' dalam hal tersebut.
Gue berkesimpulan, saat manusia beranjak dewasa, baik itu secara fisik dan mentalnya, kita paham sendiri dan tidak lagi berdiri pada standar tertentu melainkan standar yang diciptakan dari internal dan eksternal kita, atau dalam kata lain itu hanya 'semu' aja.
Di usia 23 ini, gue belajar banyak soal sebuah keputusan, boleh jadi apa yang kita lihat mengagetkan itu hanyalah hal biasa bagi seseorang dan vice versa.
Terus pertanyaannya, mau kemanakah kita?
Sudah kau temukan jalanmu, caramu, dan maumu?
Terus mau kemana?
Jika kematian yang menghentikan kita saja tak diketahui datangnya, lantas haruskah kita merasa milestone dalam hidup ini adalah kompetisi? Sedang garis finish itu berbeda beda, sama seperti garis start saat kita dilahirkan.
Poin gue disini selain kontemplasi diri mau kemana, juga ingin sekali lagi menyampaikan bahwa masing-masing individu punya pertimbangannya sendiri, saatnya kita saling menghargai.
Sampai jumpa dilain kesempatan langit. Salam pada Aldebaran yang lama gak gue tatap di malam hari
Komentar
Posting Komentar